TIAKUR, peloporwiratama.co.id – Kelangkaan obat-obatan masih menjadi persoalan utama di Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD). Hal ini terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi II DPRD MBD dengan Dinas Kesehatan yang digelar di ruang rapat Komisi II, Rabu (5/3).
Ketua Komisi II DPRD MBD, Remon Amtu, menyoroti masalah distribusi obat yang berkaitan dengan anggaran dan lamanya perjalanan obat dari distributor hingga sampai ke Kabupaten Maluku Barat Daya. “Manajemen adalah kunci dari hasil kesimpulan yang kita dapat,” kata Amtu.
Ia menegaskan bahwa persoalan kesehatan merupakan masalah kemanusiaan, bukan soal suka atau tidak suka. “Kalau rancangan anggaran itu rasional, proporsional, dan kerjanya secara profesional, saya kira itu bisa diterima,” ujar Amtu.
Salah satu poin utama yang diangkat adalah peningkatan status Polides (Poliklinik Desa) menjadi Pustu (Puskesmas Pembantu). Amtu juga mempertanyakan implementasi program Spit (Sistem Pelayanan Informasi Terpadu) di setiap desa yang terbentur masalah anggaran.
“Perencanaan datang ada Spit, tetapi masalahnya anggaran BBM tidak ada,” ujarnya kritis.
Terkait anggaran distribusi obat, Amtu menekankan pentingnya rancangan anggaran yang matang. “Saya berharap rancangan anggarannya dibuat dan kita akan bahas. Sekali lagi, persoalan kesehatan tidak ada faktor suka atau tidak suka. Jadi, kalau rancangan anggaran itu rasional, proporsional, dan kerjanya secara profesional, saya kira itu bisa diterima,” jelasnya.
Sebagai solusi, ia mengusulkan adanya rapat komisi gabungan dengan pihak TKBM (Tenaga Kerja Bongkar Muat) di pelabuhan untuk membahas dispensasi terkait distribusi obat-obatan.
Amtu juga menyoroti ketiadaan alat kesehatan (Alkes) di Desa Ahanari, Kecamatan Babar Timur. “Alat kesehatan untuk mengukur kolesterol, asam urat, saya pikir ini penting,” tegasnya.
Isu transparansi pengelolaan anggaran Jasa Pelayanan (Jaspel) sekitar 4 miliar rupiah juga menjadi perhatian serius. “Saya minta ada transparansi karena informasi yang kami dapat dari hasil pemeriksaan BPK itu ada temuan terkait pembayaran Jaspel di tingkat puskesmas,” ungkapnya.
Masalah distribusi yang berkaitan dengan anggaran dan lamanya perjalanan obat dari distributor hingga ke daerah terpencil juga menjadi catatan penting dalam RDP tersebut.
“RDP ini bukan untuk sama-sama mencari kesalahan, tetapi ini terpenting untuk rakyat MBD terkait soal kesehatan. Apapun persoalannya, apapun solusinya, tentu semua harus berdampak baik untuk rakyat Maluku Barat Daya,” tutup Amtu.
Wakil Ketua Komisi II, Anthonius Lowatu, menambahkan bahwa pelayanan kesehatan di MBD masih sangat memprihatinkan. “Pengalaman kemarin saya bawa pasien ke Rumah Sakit. Sampai pasien beta meninggal, semua obat saya beli di luar, bahkan saya pengadaan dari Ambon. Tapi tidak ada penjelasan dari pihak Rumah Sakit terkait setiap obat yang kita beli dari luar,” ungkapnya.
Sekretaris Komisi II, Henrita N. Jermias, menyatakan kekecewaannya terhadap layanan kesehatan di MBD. “Kami sangat kecewa karena yang kami temukan di masyarakat bukan dekat kadaluwarsa, tapi ada obat yang memang sudah kadaluwarsa yang didistribusikan. Kami tegaskan jangan sampai rakyat ini dibunuh dengan uang mereka sendiri,” tegasnya.
Koordinator Komisi II, Alita A. Bakker, mengungkapkan frustrasinya karena masalah di Dinas Kesehatan tidak pernah terselesaikan. “Dinas Kesehatan adalah dinas yang selalu bermasalah di Kabupaten MBD. Setiap tahun permasalahan tidak pernah diselesaikan. Selama lima tahun ketika saya berada di lembaga ini, permasalahan ini tidak pernah diselesaikan. Ini lagu lama,” ujarnya.
Anggota Komisi II DPRD Maluku Barat Daya (MBD), Roy D. Mesdila, mengungkapkan keprihatinannya terhadap sistem distribusi obat yang kacau di kabupaten bertajuk Kalwedo itu. Dalam rapat dengar pendapat kemarin, Mesdila menegaskan alasan di balik ketegasan Komisi II menyoroti kelangkaan obat.
“Mengapa kami terus ngotot terkait kelangkaan obat? Karena laporan masuk dari puskesmas yang mengakibatkan integritas kami dipertaruhkan,” tegas Mesdila.
Ia memaparkan temuan miris di lapangan bahwa obat yang dikirimkan ke puskesmas sering kali tidak sesuai dengan permintaan. Masalah ini berdampak langsung pada pasien yang membutuhkan obat vital.
“Pendistribusian obat tidak lancar. Obat yang diminta pasien tidak ada di lapangan sehingga kepala puskesmas juga tidak bisa bertanggung jawab. Akhirnya langkah yang diambil pihak puskesmas adalah memberikan catatan kepada keluarga pasien untuk belanja ke apotek. Ini yang harus kita perbaiki,” jelas Mesdila.
Lebih mengkhawatirkan lagi, Mesdila menunjukkan bukti konkret obat kedaluwarsa yang ditemukan di Puskesmas Jerusu. “Ada Solfion methylprednisolone yang sudah kedaluwarsa sejak Februari, Ibuprofen dan Vitamin B1 yang hampir kedaluwarsa bulan April, dan Dexsa injeksi yang kedaluwarsa bulan Maret,” ungkapnya.
Meski anggaran untuk distribusi obat ditingkatkan dari 3 miliar rupiah pada 2024 menjadi 6 miliar rupiah pada 2025, Mesdila mengkhawatirkan puskesmas di daerah terpencil seperti Wetar dan Dawelor tidak akan mendapatkan manfaat dari peningkatan anggaran tersebut.
“Selama ini saya ikuti lembaga ini, penyerapan anggaran di Dinas Kesehatan tidak mencapai 70 persen. Saya cukup terlibat pada pansus LKPJ sehingga kita memeriksa penyerapan anggaran dari Dinas Kesehatan ini sangat minim. Setiap tahun kami RDP dengan Dinas Kesehatan, selalu bermasalah terus,” kritiknya.
Sebagai solusi, Mesdila mengusulkan agar Komisi II turun langsung ke distributor untuk mengatasi masalah distribusi dan kedaluwarsa obat. “Kita perjuangkan agar waktu distribusi jangan terlalu lama,” tegasnya.
Selain masalah obat, ia juga meminta peningkatan status Poliklinik Desa (Polides) menjadi Puskesmas Pembantu (Pustu) di Solath untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di daerah tersebut.
Menanggapi kritik-kritik tersebut, Kepala Dinas Kesehatan, Marthen Rahakbauw, menjelaskan kendala yang dihadapi. “Terkait dengan distribusi obat itu, tahun kemarin distribusi obat dari dana DAU dengan anggaran 80 juta sekian tidak memenuhi kebutuhan distribusi obat,” ungkapnya.
Rahakbauw menambahkan bahwa pada tahun 2025, anggaran untuk pengadaan obat sudah meningkat. “Untuk tahun 2025 ini dari kementerian kasih anggaran 6 milyar sekian untuk penganggaran obat dan BMT, sedangkan tahun kemarin kami hanya pakai dana DAU sekitar 3 milyar sekian,” jelasnya.
Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan (SDK), Eros Akse, menjelaskan masalah masa kadaluwarsa obat. “Masa kadaluwarsa obat itu sudah ditentukan oleh Badan POM RI. Untuk produksi obat itu hanya 2 tahun. Mengapa obat kita hanya kadaluwarsa setelah sampai ke puskesmas? Itu karena kurang lebih waktu sekitar 7 sampai 8 bulan waktunya sudah kadaluwarsa,” paparnya.
Akse menjelaskan bahwa Kabupaten MBD termasuk yang paling kecil dalam permintaan obat dari pabrikan. “Pabrikan obat itu melayani kabupaten/kota yang permintaan besar baru melayani kita yang permintaan kecil, sehingga permintaan kecil biasanya datang belakangan,” katanya.
Masalah biaya distribusi juga menjadi kendala besar. “Terkait dengan distribusi tahun kemarin, biaya distribusi itu 80 juta. Kalau kita bagi ke 32 puskesmas bagi 12 lagi, berarti dia kalkulasi rata-rata Rp200.000 per puskesmas per bulan untuk distribusi,” kata Akse.
Ia mencontohkan biaya pengangkutan obat yang sangat tinggi. “Kita bawa obat 1 mobil pikap saja, buruh kasih turun naik ke kapal bayar Rp500.000 itu pakai derek. Tapi kalau angkat manual Rp700.000 sampai Rp1.200.000 kalau pakai buruh. Bagasi di kapal satu mobil mereka hitung Rp750.000. Dengan kondisi seperti ini, kita tidak akan bisa,” ungkapnya.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Dinas Kesehatan telah mendapat anggaran yang lebih besar di tahun 2025. “Tahun ini Dinas Kesehatan dikasih anggaran dari kementerian sebesar 144 juta untuk distribusi,” kata Akse. (PW.19)